Sejak
direbutnya kemerdekaan dari tangan penjajah, para pendiri bangsa
menetapkan bahwa landasan berbangsa bagi Indonesia adalah demokrasi.
Demokrasi, yang dicerminkan dengan kedaulatan rakyat atau dengan kata
lain adanya suatu lembaga perwakilan rakyat (legislatif) memang telah
menjadi suatu mufakat yang tidak pernah alfa ada di tanah air ini.
Meskipun di dalam perjalanannya, lembaga perwakilan rakyat ini kerap
kali di setir sedemikian rupa. Sebutlah ketika Sukarno dengan pongahnya
membubarkan DPR hasil pemilu 1955 dan digantikan dengan DPR-GR ‘buah
tangannya’ sendiri. Dan ketika rezim orde baru menyulap lembaga
perwakilan rakyat dan orang yang ada di dalamnya menjadi seorang ‘yes
men’ dan hanya menjadi ‘tukang stempel’ apa yang diinginkan penguasa
kala itu. Hingga orde reformasi, dengan segala keterbatasannya, lembaga
perwakilan rakyat tetap diakui eksistensinya dan menjadi salah satu soko
guru demokrasi di Indonesia.
Namun,
setelah lebih dari 10 tahun, penegakkan demokrasi di era reformasi ini
terlihat hanya sebagai demokrasi prosedural saja dan tidak menyentuh
substansi demokrasi itu sendiri. Padahal, seperti nama gerakannya,
reformasi, demokrasi di Indonesia setelah tumbangnya orde baru
diharapkan menjadi gerbang pembentukan bangsa Indonesia sebagaimana
diamanatkan dalam konstitusi: melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum;
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan keketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Berhasil
gagalnya pemerintah Indonesia ditilik dari tiga ukuran dasar ini:
seberapa mampu pemerintah melindungi warga negara dan keutuhan tanah
air, berapa tingkat kesejahteraan dan kecerdasan yang dapat dicapai
(Hariman Siregar, 2012). Jika Indikatornya adalah ketiga hal diatas,
maka bolehlah kita menggolongkan bahwa Indonesia (sedang menuju) negara
gagal. Bagaimana tidak, tiap hari kita disuguhkan dengan pemberitaan
yang tidak hentinya tentang tertindasnya rakyat, wilayah kita yang
‘dicaplok’ negara tetangga tanpa bisa kita pertahankan, ketidakmampuan
negara melindungi para TKI, masih tingginya angka kemiskinan dan buta
huruf, rakyat ditembaki aparat, dan masih banyak contoh-contoh
partikular yang menunjukkan bahwa memang negara ini seperti berjalan
tanpa pilot (autopilot).
Namun,
disatu sisi kita juga disuguhkan dengan tingkah memuakkan para wakil
rakyat yang kita pilih dalam pemilihan umum. Mereka, yang notabene
hanyalah memperolah mandat dari rakyat yang seharusnya menjalankan
mandat itu dengan pemuh amanah, jujur, dan adil malah menyelewengkan
suara rakyat. Apa yang mereka lakukan bukan lagi memperjuangkan
kepentingan rakyat namun menjadi kepentingan diri sendiri, kelompok, dan
juga partainya. Tak heran, seperti yang sudah dikatakan sebelumnya,
bahwa demokrasi di Indonesia adalah demokrasi yang masih sebatas pada
tataran prosedural. Memang ada suatu pemilihan umum sebagai salah satu
soko guru demokrasi, namun pemilihan umum itupun adalah pemilihan umum
prosedural. Pemilihan umum kini telah dikooptasi oleh segelintir elit
yang memiliki modal untuk membeli suara dan kursi. Akhirnya rakyatpun
dimata mereka hanyalah angka-angka yang bisa dinilai dengan uang.
Mengenai
pemilihan umum sendiri, ada suatu anekdot yang menceritakan bahwa
rakyat dan elit politik seperti suami istri yang sudah bercerai. Mereka
menjalani hidup tanpa peduli satu sama lain. Namun, tiap lima tahun
sekali, suami-istri yang sudah bercerai ini dipaksa untuk tidur satu
kamar lagi, satu ranjang. Itulah yang memang terjadi, para elit politik
segera menggunakan gincu dan segala atribut diri untuk mempercantik diri
di depan rakyat yang menjadi konstituennya. Namun, setelah pemilu dan
elit tersebut telah terpilih, hubungan semu itu hilang. Elit politik
sibuk memperkaya diri demi mengembalikan modal kala kampanye dan
rakyatpun kembali bergulat dengan hidup.
Elit-elit
seperti inilah, elit-elit yang menganggap demokrasi di Indonesia
hanyalah demokrasi pemberian, demokrasi hadiah, yang membuat wajah
demokrasi di Indonesia begitu suram. Padahal, jika ditilik lebih dalam,
wakil rakyat ini dapat duduk diatas sana karena perjuangan berjuta
rakyat Indonesia, berjuta pemuda sadar sejak masa penjajahan. Tanpa
perjuangan terdahulu, elit-elit ini tidak mungkin sampai pada posisi
demikian.
Kondisi yang seperti ni membuat kita kembali bertanya mengenai konsep Satu Negara-Satu Bangsa (One State-One Nation), apakah itu masih relevan? Atau konsep ini telah berubah menjadi Satu Negara-Dua bangsa (One State-Two Nation)?
Indonesia
kini memang telah terkelompok menjadi dua kelompok yang bertolak
belakang. Ada segelintir elit yang menguasai modal dan hidup dari
keringat rakyat dan eksploitasi sumber daya ekstratif. Dan sisi lain ada
mayoritas rakyat yang selalu tersingkirkan dan termarjinalkan. Sebuah
kondisi yang sama sekali jauh dari cita-cita para pendiri bangsa.
Mengutip Hariman Siregar, perjuangan bangsa Indonesia saat ini pada hakikatnya adalah ‘kembali’ menanamkan dan menumbuhkan nilai-nilai demokrasi yang menghargai kesetaraan (equality) dan kebebasan (freedom). Kesetaraan disini merujuk pada persamaan hak antara tiap warga negara untuk mengakses sumber-sumber ekonomi untuk hidup; dan kebebasan yang luas untuk melakukan kritik tanpa ada rasa takut, tentunya semua ini melalui saluran-saluran demokrasi. Yang mesti kita lakukan adalah berjuang untuk mengembalikan hakikat demokrasi yang sudah terlanjur prosedural dan dikuasai elit-elit modal ini dan mengembalikan kedaulatan kepada pemilik sah negara ini: rakyat.
DEMOKRASI ORANG-ORANG IDIOT
Semakin banyak saja jumlah baliho
kampanye yang ada di kota Banda Aceh. Seakan-akan jumlah ini akan terus
bertambah setiap harinya dan tidak pernah ada pengurangan jumlah. Saya
kurang tahu berapa jumlah pasti total baliho yang ada di Banda Aceh, namun
menjelang Pemilihan Gubernur tahun 2013 dan Pemilihan Anggota
Legislatif 2014 sepertinya jumlah ini akan terus bertambah setiap
harinya.
Bukan hanya jumlah saja yang bertambah,
ragam jenis wajah yang ditampilkan pun juga bertambah. Mulai dari
politisi yang paling famous, sampai wajah baru yang menjadikan
pemilihan umum sebagai kesempatan untuk memperbaiki nasib mereka. Wajah
baru ini tentu saja memiliki target pasar yang berbeda dengan para
politisi famous. Target pasar mereka jelas adalah pemilih pemula.
Orang-orang yang dipemilu kedepannya merupakan tahun pertama mereka
untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi.
Ini memang dapat dianggap sebagai sebuah
perjudian, kerena pemilih pemula adalah orang yang cenderung tidak
memiliki pengetahuan apa-apa tentang realitas politik yang terjadi di
Indonesia. Mereka itu tidak lebih dari sekumpulan orang-orang kosong,
tanpa keberpihakan yang memiliki semangat besar untuk meramaikan pesta
demokrasi. Kondisi inilah yang menjadikan pemilih pemula sebagai sasaran
empuk bagi politisi kacangan yang ingin memperbaiki nasib mereka.
Aapakah hal ini merupakan sebuah
kekacauan? Tentu saja ini adalah sebuah kekacauan besar. Interaksi
timbal balik antara pemilih pemula dan politisi kacangan akan
menciptakan pola baru dalam iklim demokrasi Indonesia. Pola interkasi
ini akan melahirkan sebuah kelompok baru yang tidak memandang demokrasi
sebagai sebuah wadah untuk menentukan arah pemerintahan lima tahun
kedepannya. Tapi mereka memandang bahwa demokrasi adalah sebuah
rutinitas formal yang memberikan legitimasi sosial pada klaim kedewasaan
bagi pemilih pemula dan kesempatan untuk memperbaiki nasib bagi para
politisi kacangan.
Fakta yang miris adalah bahwa fenomena
ini ternyata lebih mayoritas dari gagasan intelektual tentang pemilihan
umum dan demokrasi. Saking banyaknya, fenomena ini sampai menutupi
gagasan-gagasan intelektual yang lahir tentang demokrasi. Kita sudah
sangat jarang menemukan sebuah gagasan cerdas yang terpampang ataukah
sebuah konsep yang bisa menjadi solusi pada baliho-baliho yang terpasang
di tepi jalan. Yang ada adalah slogan-slogan sampah yang semakin
menunjukkan kelas intelektual para politisi kacangan.
Tentu saja disamping miris hal ini juga
menjadi sebuah fenomena unik dimana saat ini orang-orang tidak lagi malu
untuk mempertunjukkan kebodohan mereka. Dengan slogan-slogan dan
tagline yang tidak relevan dengan kondisi masyarakat, semakin
membuktikan bahwa realitas demokrasi kita hari ini telah jatuh pada
titik rasionalitasnya yang terendah. Demokrasi keranjang sampah yang
dipenuhi oleh pemulung dan konsep lusuh yang penuh tambalan.
Comments
Post a Comment