Ada bahasa skeptis yang muncul dari beberapa pihak melihat fenomena penyelenggaraan birokrasi di Indonesia. Bahasa yang tidak lagi percaya ada sebuah ide yang bisa memberikan tawaran solusi bagi penciptaan birokrasi bersih dan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan. Skeptisisme ini lahir dari realitas dimana “suap”, “sogok” dan apapun bentuk dan jenisnya menjadi komoditi baru yang dianggap sebagai sebuah kewajaran sistemik dalam perspektif birokrasi di Indonesia.
Telah menjadi sebuah rahasia umum bahwa berurusan dengan birokrasi merupakan sebuah kondisi yang mengharuskan kita mengeluarkan sejumlah uang dengan alasan mulai dari pembiayaan administrasi sampai dana partisipasi. Untuk mendapatkan pelayanan publik yang cepat dan memuaskan masyarakat diharuskan membayar sejumlah uang sejenis “dana pelican” ataukah “dana terimakasih” atas jasa individu yang ditawarkan oleh para aparat pemerintah. Budaya ini juga kemudian merambah sampai pada persoalan perekrutan calon pegawai negeri. sipil. Seakan ini menjadi sebuah ladang usaha baru, aktivitas ini kian tumbuh subur mengingat sulitnya masyarakat mendapatkan lapangan kerja di Indonesia saat ini.
Budaya ini telah dilakukan secara turun-temurun, menjadikan semua mimpi kita tentang penyelenggaraan birokrasi bersih dan transparan tidak lebih dari sebuah omong kosong belaka. Saat ini, semua pihak menganggap hal ini sebagai sebuah kewajaran. Rasionalisasinya sederhana, bahwa gaji pegawai negeri sipil tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang setiap hari semakin meningkat. Kalaupun pegawai negeri sipil diberikan kesempatan untuk membuka usaha sampingan, hal ini pun butuh modal yang besar. Kondisi yang tentunya sangat dilematis mengingat posisi pegawai negeri sipil harus menanggung beban kerja yang sangat besar dan tunjungan kehidupan yang hampir tidak manusiawi.
Kalau kita kembali pada hakekat pemerintahan sebagai sebuah organisasi pelayanan publik maka realitas yang terjadi di Indonesia pastilah hal yang tidak masuk dalam definisi kewajaran penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan publik adalah sebuah konsep yang didasarkan pada tujuan meringankan penderitaan masyarakat. Namun yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya. Pelayanan publik tidak lagi dianggap sebagai terminology solutif melainkan sebuah mimpi buruk bagi rakyat ketika harus berurusan dengan pemerintah. Turun-temurunnya praktek ini ternyata juga menciptakan akar yang sangat mendalam di paradigma masyarakat memandang pemerintah. Menciptakan fallacy of retrospectif determinism secara general yang kemudian membunuh harapan masyarakat untuk merasakan keadilan sosial. Apakah ini merupakan sebuah kewajaran ataukah sebuah kesalahan? Ataukah ini adalah kesalahan yang diwajarkan atau kewajaran yang disalahkan? Apapun itu, fenomena ini tetap menjadi bukti gagalnya penyelenggaraan Negara dan pemerintahan di Indonesia.
Kesalahan berfikir yang masuk dalam kategori ini adalah kesalahan berfikir yang menganggap bahwa semua kejadian yang terjadi dimasa lalu adalah sebuah faktor yang determinan dan merupakan prinsip umum yang berlaku dan tidak bisa berubah lagi. Pengertian harafiah dari kesalah berfikir ini berasal dari kata retrospective dan determinism. Retrospective berarti pandangan tentang masa lalu. Determinism adalah sebuah kepastian atau pemutlakan sesuatu. Pemutlakan hukum universal yang kemudian menutup kesempatan untuk munculnya kemungkinan lain. Contoh paling sederhana dari perspektif ini adalah pandangan yang menyatakan bahwa “kemiskinan itu adalah susuatu yang pasti dan tidak bisa lagi dihapuskan, karena kemiskinan itu sudah terjadi sejak dahulu kala”. Kalimat yang menyatakan bahwa kemiskinan bukanlah sebuah hal yang dapat dihapuskan karena kemiskinan adalah sesuatu yang sudah terjadi sejak lampau dan turun-temurun adalah termasuk dalam contoh kesalahan berfikir ini karena kalimat ini menyatakan penghukumannya terhadap objek (kemiskinan) sebaai sesuatu yang mutlak dan pasti terjadi didasarkan pada fenomena kemiskinan yang sudah terjadi sejak dahulu kala.
Padahal penyebab munvulnya kemiskinan itu bukan karena dia terjadi sejak dahulu kala. Waktu bukanlah menjadi penyebab terhadap sebuah kondisi. Kenapa kemiskinan itu bisa ada sejak dahulu, adalah karena sejak dahulu belum diterapkannya sebuah konsep ekonomi yang adil untuk seluruh masyarakat dalam sebuah Negara. Selama ini Negara membangun system ekonominya diatas diskriminasi sosial dan bukan diatas perspektif keadilan sosial. Efek nyata dari model kesalahan berfikir ini adalah skeptisisme masyarakat terhadap sebuah fenomena ketika model berfikir ini menjadi dominan dimasyarakat. Bisa saja ini menjadi sebuah strategi untuk membuat masyarakat apatis terhadap seuah perubahan sosial yang disatu sisi akan menguntungkan pihak yang memegang kekuasaan (status quo). Tentu saja hal ini merupakan hal yang sangat disenangi oleh mereka yang berfikir untuk mempertahankan sebuah kekuasaan. Apatisasi masyarakat adalah sebuah jalan damai untuk melanggengkan kekuasaan dan meminimalisir gerakan-gerakan yang dianggap dapat menghancurkan kekuasaan. Bagi mereka yang berkuasa, membuat masyarakat menjadi apatis merupakan cara yag efisien dan terbukti sangat efektif. Karena masyarakat tetap saja tidak bisa terlepas dari kondisinya sebagai warga Negara yang terikat pada kewajiban-kewajiaban hukum. Mereka tinggal memainkan saja dalam pembuatan aturan, dan menghilangkan kesadaran kritis masyarakat untuk mengkiritik setiap tingkah laku penguasa yang pada dasarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial. Seperti kalimat yang menyatakan bahwa “untuk apa kita repot memberantas korupsi?
Korupsi sudah ada sejak dahulu dan semua ide dan cita-cita untuk memberantas korupsi terbukti gagal dan tidak efektif. ”
Fallacy of Missplaced Concretness
adalah jenis kesalahan berfikir yang berangkat dari kesalahan untuk
memepersepsi dan memilah antara dua hal yang seharusnya abstrak dan
konkret. Hal-hal yang abstrak ditempatkan atau diposisikan pada posisi yang konkret dan begitupun sebaliknya.
Fallacy ini sering sekali
terjadi dalam bentuk kesalahan pemberian solusi pada sebuah masalah
akibat ketidakpahaman/ketidaktahuan kita apakah masalah tersebut adalah
sebuah persoalan yang abstrak yang menuntut penyelesaian secara abstrak
pula ataukah termasuk persoalan yang konkret yang menuntut penyelesaian
dengan mengadakan sebuah fenomena empirikal. Dalam bentuknya yang
general, sebenarnya semua kesalahan berfikir dalam memposisikan sebuah
masalah termasuk dalam Fallacy of Misplaced Concrettness.
Misalnya, ada sebuah masalah tentang tingginya tingkat tawuran di sebuah
daerah. Lalu pemerintah dan tokoh masyarakat setempat mengadakan sebuah
pertemuan untuk menyikapi masalah tersebut. Hasil dari pertemuan itu
adalah membuat sebuah aturan bahwa setiap rumah di daerah tersebut
dilarang untuk memiliki senjata tajam mulai dari yang terkecil sampai
yang terbesar. Karena diprediksikan bahwa penyebab meningkatnya tawuran
adalah karena akses kepemilikan terhadap senjata tajam sangat mudah
untuk setiap warga dan hal ini diyakini sebagai pemicu utama mudahnya
tawuran terjadi di daerah tersebut.
Tentu saja model solusi yang seperti ini
adalah sebuah kesalahan berfikir. Kepemilikan senjata tajam sama sekali
tidak memiliki relasi terhadap meningkatnya angka tawuran di sebuah
daerah. Karena, senjata tajam bukanlah sesuatu yang diciptakan dengan
tujuan tawuran, malah senjata tajam sangat membantu untuk menyelesaikan
kegiatan-kegiatan masak-memasak. Misalnya, untuk memotong sayur dan
daging, tentu saja tidak mungkin kalau kita menggunakan benda-benda
tumpul. Penyebab utama munculnya tawuran di sebuah daerah adalah tingkat
pendidikan masyarakat yang mayoritas tidak dalam ketegori yang baik.
Tingkat kecerdasan pada diri seseorang sangat berpengaruh dengan
kemampuan psikologis orang tersebut untuk mengendalikan emosinya.
Bahkan, orang-orang yang memliki tingkat kecerdasan yang memadai adalah
orang-orang yang mampu melihat masalah dari perspektif yang lain
sehingga dapat lebih bijak dalam menghadapi sebuah masalah dan tidak
cenderung untuk mengedepnkan emosi serta menjadikan perkelahian sebagai
satu-satunya solusi.
Tawuran adalah contoh masalah yang
berakar dari sebuah hal yang abstrak, yaitu tingakat pendidikan. Mengapa
tingkat pendidikan disebut sebagai sebuah persoalan yang abstrak,
karena tingkat pendidikan adalah hal yang tidak bisa terpahami secara
inderawi. Ketika kita berbicara tentang tingkat pendidikan kita tidak
berbicara tentang seberapa megah sebuah gedung sekolah dan seberapa
lengkap fasilitas yang ada dalam sebuah lembaga pendidikan. Tapi kita
berbicara tentang hasil dari sebuah program pendidikan yaitu bagaimana
tingkah laku setiap peserta didik setelah mengikuti program tersebut.
Kesalahan ini paling banyak terjadi pada
solusi-solusi yang diberikan atau dirumuskan oleh pemerintah dalam
menyikapi sebuah fenomena. Yang jadi pertanyaan adalah karena kesalahan
berfikir ini besandar pada ketidakmampuan intelektual seseorang dalam
membedakan antara persoalan yang abstrak dan konkret, apakah kesalahan
ini terjadi dalam sebuah sistem adalah hal yang sengaja dilakukan atau
tidak? Apapun jawaban dari pertanyaan ini tetap saja menyatakan
ketidakvalidan sistem yang saat ini sedang berjalan.
Note :
Abstrak dan konkret adalah dua terminologi yang saling berlawanan.
Pengertian abstrak secara filosofis adalah semua realitas yang tidak
dapat terpahami secara inderawi. Sedangkan, konkret adalah lawan dari
abstrak yaitu semua realitas yang dapat terpahami oleh indera. Dalam
definisi filosofis, sesuatu yang abstrak bukan berarti bahwa sesuatu itu
tidak nyata (tidak riil/unreal).
Lanjutan...
Argumentum Ad Verecundiam adalah
jenis kesalahan berfikir yang menjadikan sebuah otoritas sebagai tolak
ukur kebenaran. Otoritas yang dimaksudkan dapat berupa jabatan, posisi
social, ataukah predikat religious dimana otoritas tersebut seakan
menjadi penjamin yang ketika sebuah argumentasi disandarkan kepadanya,
maka akan memiliki nilai kebenaran yang mutlak.
Misalnya, ketika seorang pengajar (dosen)
disebuah universitas dijadikan sebagai sumber kebenaran. Bahwa setiap
kata-katanya memiliki nilai kebenaran ilmiah yan tidak dapat ditolak
secara akademik. Ataukah pandangan yang menyatakan bahwa kata-kata
seorang sarjana hukum adalah doktrin (pendapat para pakar) dan setara
dengan satu undang-undang.
Ketika cara berfikir seperti ini
diterapkan di institusi pendidikan, dengan otoritas yang dimilikinya
adalah cara paling ampuh untuk membunuh daya kritis peserta didik.
Mereka akan menyangka bahwa kritis adalah sebuah perbuatan yang salah
ketika diterapkan pada pengajar, karena argumentasi dari para pengajar
di institusi pendidikan memiliki nilai kebenaran yang tidak
terbantahkan.
Bentuk lain dari kesalahan berfikir ini
seperti yang kita temukan bahwa tolak ukur sebuah karya ilmiah adalah
adanya daftar pustaka atau sember referensi sebagai syarat kelengkapan
formalnya. Sebuah karya kita dikatakan ilmiah ketika kita memiliki
banyak referensi untuk menyusunnya, semakin banyak maka semakin
ilmiah-lah karya kita. Karya kita kadang dianggap tidak ilmiah dan tidak
memiliki validitas kebenaran yang kuat apabila karya kita tidak
dilengkapi dengan sumber referensi.
Kalau kebenaran sebuah karya tulis diukur
dari seberapa banyak kutipan dan seberapa banyak jumlah buku yang
dimasukkan kedalam daftar pustaka maka sama saja dengan mengatakan bahwa
tolak ukur sebuah karya ilmiah adalah berdasarkan pada buku yang
dijadikan sebagai sumber referensi. Lalu pertanyaannya, apakah buku
tersebut bukan merupakan sebuah karya ilmiah? Kalau buku tersebut juga
pada dasarnya merupakan sebuah karya ilmiah maka buku tersebut juga
merupakan sesuatu yang butuh pelegitimasi lain untuk membenarkaannya
(dalam hal ini pastilah memiliki daftar pustaka sendiri) dan begitu
seterusnya.
Adalah sesuatu yang mustahil melegitimasi
dengan sesuatu yang pada dasarnya juga masih butuh pelegitimasi lain.
Ini adalah sebuah kekacauan besar dalam cara berfikir karena kita tidak
akan mungkin menemukan objektivitas dari setiap teori ataukah
argumentasi yang menjadi literature umum, khususnya dibidang hukum.
Karena literature tidak disusun berdasarkan prinsip-prinsip objektivitas
ilmu pengetahuan, akan tetapi disusun dan dilegitimasi berdasarkan
persyaratan formil yang belum teruji validitas dan objektivitas
kebenarnnya.
Comments
Post a Comment